Pungutan Ilegal di SMAN 18 Kota Bekasi: Terjadi Bertahun-tahun, Pengawasan Mandul.

tentaraOked
Bukti Pungli SMAN-18  & Bantahan.
Bukti Pungli SMAN-18 & Bantahan.

Bekasi  090825~ Bertahun-tahun lamanya, uang ratusan ribu rupiah berpindah tangan di lingkungan SMAN-18 Bekasi. Nominalnya “hanya” Rp350.000 per siswa, namun jumlah itu membengkak menjadi ratusan juta jika dihitung dalam skala tahunan. Semua dilakukan di bawah bayang-bayang papan nama sekolah negeri, dengan mekanisme yang—kalau bukan disengaja—setidaknya dibiarkan hidup tanpa sentuhan hukum.

Padahal, Permendikbud No. 75 Tahun 2016 Pasal 12 huruf b sudah tegas: komite sekolah dilarang memungut biaya dari siswa atau orang tua, baik secara kolektif maupun individu. Aturan ini bukan abu-abu, melainkan hitam di atas putih. Tetapi, larangan itu nyaris tidak berarti ketika praktik pungutan telah menjadi kebiasaan—bahkan, seperti “tradisi warisan” yang dijaga rapi.

Ironisnya, praktik ini sebenarnya sudah masuk ranah pidana. Jika pelaku adalah Aparatur Sipil Negara, KUHP Pasal 423 menjerat tegas: “Seorang pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang memberikan sesuatu, dihukum penjara.” Sebaliknya, jika pelaku bukan ASN, KUHP Pasal 368 mengatur ancaman bagi siapapun yang memaksa orang lain memberikan sesuatu dengan ancaman atau kekerasan. Singkatnya: mau ASN atau bukan, praktik ini sama-sama bisa berujung sel penjara—kecuali tentu, kalau hukumnya hanya berlaku di buku, bukan di lapangan.

Akhirnya, pada Februari 2025, pungutan itu berhenti. Bukan karena kesadaran moral, melainkan karena desakan publik—lewat laporan masyarakat dan selebaran kritis yang beredar luas. Namun, alih-alih mengakui kesalahan, pihak sekolah justru berlindung di balik jawaban klise: “Saat ini tidak ada pungutan.” Sebuah frasa yang terdengar seperti jawaban pejabat korup yang menganggap masa lalu tak relevan.

Lebih mencurigakan lagi, ketika ditanya soal penggunaan dana tersebut, pihak sekolah menolak membuka informasi dengan alasan “tidak memiliki keharusan dan kewenangan”. Dalam demokrasi, alasan ini terdengar seperti penghinaan: sekolah negeri adalah lembaga publik, bukan perusahaan pribadi.

Mereka juga mengklaim bahwa semua kegiatan sudah “dilaporkan kepada atasan”. Namun siapa “atasan” itu? Kepala Dinas Pendidikan Provinsi? Atau sosok tak kasat mata yang memberi restu secara diam-diam? Jika laporan benar ada, mengapa pungutan bertahun-tahun ini tak pernah dihentikan?

Pertanyaan-pertanyaan ini mengambang, menuntut jawaban. Sebab jika dibiarkan, sekolah-sekolah negeri berpotensi menjadi sarang pungli yang dilegalkan diam-diam, dan pendidikan hanya akan menjadi etalase moral yang kosong di dalamnya—indah dilihat dari luar, tapi berjamur busuk di dalam.

Team Investigasi/ IGM

Share

12373883853515033601
iklan-e
393933404023790490

Berita Internasional

Pengunjung