Tugu Proklamasi (17/08-25)~Megawati Soekarnoputri, dengan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sebagai kendaraan politiknya, kerap mengusung narasi nasionalisme eksklusif, seolah nasionalisme Soekarno memegang peran terbesar dalam pembentukan NKRI(Negara Kesatuan Republik Indonesia). Ia menempatkan ayahnya sebagai tokoh utama, bahkan tunggal, dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Narasi ini membentuk mitologi politik yang terus dipasarkan ke publik, seakan tanpa Soekarno, Indonesia tidak akan merdeka. Padahal, kemerdekaan merupakan hasil pergulatan panjang dan kolektif, melibatkan berbagai elemen tokoh bangsa, juga faktor eksternal yang tak kalah menentukan.
Fakta sejarah menunjukkan, kekalahan Jepang di Perang Pasifik oleh ~Amerika Serikat~ menjadi titik balik yang mengakhiri penjajahan Jepang di Asia, termasuk Indonesia. Kekosongan kekuasaan inilah yang dimanfaatkan para pemimpin bangsa untuk memproklamasikan kemerdekaan. Namun proklamasi saja tidak membuat Indonesia benar-benar merdeka; Belanda kembali datang dengan dukungan Sekutu, mencoba merebut tanah jajahan lamanya.
Tekanan internasional, terutama dari~ Amerika ~lewat Marshall Plan dan perundingan Renville, menjadi faktor penting. Amerika, yang mengusung agenda dekolonisasi pasca-Perang Dunia II, menekan Belanda: pilih dana miliaran dolar atau tinggalkan Indonesia. Dorongan ini memaksa Belanda mengakhiri kolonialismenya.
Sayangnya, narasi besar ini kerap dikerdilkan oleh para nasionalis yang menempatkan Soekarno sebagai ikon tunggal. Padahal, Soekarno pun pernah keliru membaca peta geopolitik dengan terlalu mengandalkan Jepang, yang saat itu justru menuju kekalahan. Jepang hanya memanfaatkan Soekarno untuk mempertahankan simpati rakyat di saat mereka terdesak.
~Mohammad Hatta, sebaliknya, bersikap lebih realistis. Berbekal pengetahuan internasionalnya, Hatta melihat bahwa Amerika adalah kekuatan baru yang harus didekati, membaca perubahan arah dunia pasca-perang. Namun, peran Hatta dan faktor internasional—bahkan perjuangan ~Tan Malaka~ nyaris terhapus dalam narasi nasionalisme yang diglorifikasi.
Seperti ucapan Soekarno sendiri, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah (Jas~merah)”.
*RS~