Mencopot Sri Mulyani: Prabowo, IMF, dan Perang Baru di Istana

tentaraOked
Reshuffle kabinet
Reshuffle kabinet

Jkt(09/10/2025)~Lima menteri Kabinet Indonesia Maju resmi diganti oleh Presiden Prabowo Subianto. Di permukaan, ini bisa dibaca sekadar sebagai rutinitas politik. Namun, jika ditelisik lebih dalam, reshuffle kali ini bukan sekadar perombakan jabatan. Ia adalah penanda dekonstruksi politik—sebuah pergeseran besar yang membuka babak baru dalam wajah pemerintahan Indonesia.

Dengan kalkulasi yang presisi, Prabowo tampak memanfaatkan momentum gejolak sosial: demonstrasi mahasiswa dan aksi massa di jalanan. Aksi-aksi itu seolah menjadi legitimasi simbolik bagi langkah besar ini. Pertanyaannya: apakah demonstrasi itu murni suara rakyat, atau justru ada “sutradara” dari dalam lingkaran kekuasaan yang sengaja mengatur ritme aksi, demi memperluas ruang kuasa sekaligus menyingkirkan penghalang politik?

Di titik ini, analisa politik tak cukup. Pendekatan intelijen perlu masuk, karena terlalu kebetulan jika reshuffle berjalan seiring dengan eskalasi aksi massa. Dalam kacamata investigasi, hal ini lebih menyerupai operasi dua kaki: satu di jalanan, satu di ruang istana.

Nama-nama yang dicopot bukanlah nama kosong. Abdul Kadir Karding dan Budi Arie Setiadi, misalnya, adalah simbol kesetiaan pada Joko Widodo. Hilangnya mereka mencerminkan strategi sterilisasi kabinet—pembersihan sistematis dari elemen yang dianggap masih berporos pada “Geng Solo.”

Namun, gempa terbesar datang dari pencopotan Sri Mulyani Indrawati. Perempuan yang identik dengan disiplin fiskal itu bukan hanya menteri, melainkan representasi arsitektur ekonomi global: Bank Dunia, IMF, dan rezim neoliberal yang telah mencengkeram Indonesia lebih dari dua dekade. Dengan menyingkirkannya, Prabowo sedang mengirim pesan—bahwa ia berani menantang konsensus Washington dan membuka jalan bagi paradigma ekonomi baru yang lebih nasionalistik dan populis.

Tetapi, di balik keberanian itu tersimpan risiko. Menggoyang fondasi neoliberalisme berarti juga mengguncang stabilitas makroekonomi. Pasar bisa bereaksi liar, kepercayaan investor bisa anjlok, dan krisis keuangan bisa mengintai.

Reshuffle ini, dengan demikian, bukanlah peristiwa sederhana. Ia adalah teater politik berlapis: pergulatan ideologi, pembersihan loyalitas, dan mungkin juga perang dingin terselubung antara istana baru dan bayang-bayang lama.

Reshuffle ini pada akhirnya menimbulkan pertanyaan mendasar: untuk siapa semua drama politik ini digelar? Apakah benar demi rakyat, demi membuka jalan perubahan dan keberpihakan pada kepentingan bangsa? Ataukah ini sekadar bongkar-pasang kursi, mengganti wajah lama dengan wajah baru, sementara sistem lama yang sarat kompromi, kepentingan, dan bayang-bayang kekuasaan tetap dibiarkan hidup?….. -Waktu yg akan menjawab.

Team Reporter/RHP

Share

12373883853515033601
iklan-e
393933404023790490

Berita Internasional

Pengunjung