Jakarta, 31 Januari 2025 — Polemik terkait Pasal 66 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 kembali memanas. Peraturan yang membahas soal tanah musnah, hak pengelolaan, dan pendaftaran tanah ini dituding membuka celah bagi legalisasi reklamasi besar-besaran, yang berpotensi merampas hak rakyat, khususnya nelayan di pesisir pantai.
Kritik tajam terhadap pasal ini datang dari Laksda TNI (Purn) Adv. Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB. Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden RI, Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, ia memperingatkan adanya “sulap tanah” yang bisa membuat laut berubah menjadi properti mewah dan tanah rakyat menjadi korban proyek strategis nasional (PSN).
Celah Pasal 66 PP 18/2021: Dari “Tanah Musnah” hingga Hak Reklamasi
Pasal 66 PP 18/2021 memiliki empat poin utama:
- Tanah Musnah: Tanah yang hilang akibat peristiwa alam dinyatakan sebagai “tanah musnah”, sehingga hak atas tanah dan hak pengelolaan dihapus.
- Penetapan Tanah Musnah: Dilakukan melalui proses identifikasi, inventarisasi, dan pengkajian.
- Hak Reklamasi: Pemegang hak atas tanah diberi prioritas untuk melakukan rekonstruksi atau reklamasi atas tanah musnah tersebut.
- Dana Kerohiman: Jika reklamasi dilakukan oleh pemerintah atau pihak lain, pemegang hak akan mendapatkan dana kompensasi dari APBN/APBD.
Soleman menyoroti bahwa aturan ini menjadi senjata bagi pihak tertentu untuk mereklamasi wilayah pesisir. Bahkan, mereka yang memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) di laut bisa mendapat prioritas reklamasi dan dana kerohiman dari pemerintah, meskipun mereka membeli tanah rakyat dengan harga murah.
“Sudah dapat tanah gratis, dapat duit juga dari APBN/APBD, lalu bisa jual mahal ke pengembang properti! Sementara rakyat hanya bisa gigit jari,” tulis Soleman dalam surat terbukanya.
Fakta di Lapangan: Skema Reklamasi dan Dugaan Permainan Tanah.
Soleman memaparkan 11 fakta terkait bagaimana Pasal 66 PP 18/2021 membuka celah bagi permainan reklamasi:
-
Sertifikat HGB di Laut
Meskipun Pasal 66 baru lahir tahun 2021, sertifikat HGB untuk tanah di laut justru sudah terbit sejak 2018. Soleman mempertanyakan apakah PP ini sengaja disiapkan untuk menyelamatkan sertifikat-sertifikat tersebut. -
Pagar Laut 30 KM di Tangerang
Ditemukan pagar laut sepanjang 30 KM di pesisir Tangerang, bukan untuk melindungi laut, melainkan sebagai pembatas reklamasi. -
Klaim Abrasi oleh Gus Rofi’i
Gus Rofi’i, Ketua Umum Barisan Ksatria Nusantara (BKN), menyebut banyak tanah rakyat terkena abrasi, padahal diduga ini bagian dari skenario reklamasi. -
PT “Baik Hati” Membeli Tanah Abrasi
Setelah klaim abrasi muncul, sejumlah PT dikabarkan membeli tanah rakyat yang dinyatakan musnah. Namun, lahan itu justru dipakai untuk proyek reklamasi. -
263 Sertifikat HGB di Laut
Menteri Nusron Wahid mengungkap ada 263 sertifikat HGB yang diterbitkan di laut, dengan rincian:- 234 HGB dimiliki PT Intan Agung Makmur (IAM)
- 20 HGB dimiliki PT Cahaya Inti Sentosa
- Sisanya milik perseorangan
-
Hubungan PT IAM dan PT Cahaya Inti Sentosa dengan PIK 2
Keduanya diduga kuat terafiliasi dengan PIK 2, proyek reklamasi besar di pesisir Jakarta Utara. -
PIK 2: Raja Reklamasi
PIK 2 disebut-sebut sebagai pemain utama dalam proyek reklamasi pesisir Jakarta. -
Sertifikat dan PSN
Menteri Nusron menyatakan 50 sertifikat langsung dinyatakan musnah, dan sisanya berpotensi digunakan untuk reklamasi. -
PSN sebagai Alat Pemaksaan
Status Proyek Strategis Nasional (PSN) digunakan untuk memaksa rakyat menjual tanahnya, dengan dalih proyek tersebut demi kepentingan negara. -
Celakanya Pasal 66 PP 18/2021
Soleman menegaskan, pasal ini berpotensi membuat seluruh pantai di Indonesia bisa diklaim sebagai “tanah musnah”, membuka jalan bagi reklamasi di berbagai daerah. -
Dampak bagi Nelayan
Jika Pasal 66 terus berjalan tanpa revisi, nelayan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, hingga Papua bisa kehilangan pantai mereka sewaktu-waktu, tergeser oleh proyek reklamasi.
Tuntutan: Bentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Melihat skandal besar ini, Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Tim ini diharapkan mampu:
- Mengusut tuntas keterlibatan pihak yang memanfaatkan Pasal 66 PP 18/2021 untuk kepentingan pribadi.
- Memeriksa perancang PP 66/2021 dan para pejabat yang memberikan status PSN untuk proyek reklamasi.
- Melindungi hak nelayan dan masyarakat pesisir dari penggusuran terselubung.
Pasal 66 PP 18/2021: Benarkah Melanggar HAM..?
Soleman juga mengingatkan bahwa pasal ini berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena:
- Menghilangkan hak masyarakat atas tanah dan tempat tinggal tanpa proses yang transparan.
- Tidak menjamin keadilan hukum dalam penetapan status tanah musnah.
- Merampas sumber penghidupan nelayan dan masyarakat pesisir secara sistematis.
“Jika ini dibiarkan, ini bukan sekadar reklamasi biasa, melainkan pengusiran nelayan secara sistematis!” tegas Soleman.
Revisi atau Cabut Pasal 66 PP 18/2021!
Dalam penutup suratnya, Soleman meminta agar Pasal 66 PP 18/2021 segera diperbaiki atau dicabut.
“Kalau tidak, rakyat di pesisir pantai, khususnya para nelayan, akan kehilangan laut mereka kapan saja,” tutupnya.
Skandal ini semakin menegaskan bahwa persoalan reklamasi bukan hanya soal pembangunan, tetapi juga menyentuh hak hidup masyarakat pesisir.
Apakah pemerintah akan bertindak cepat untuk melindungi hak rakyat?, Kita tunggu jawabannya.