Jkt- Kasus dugaan korupsi yang menggelegar bak ledakan dahsyat dengan nilai mencengangkan hampir Rp 1000 triliun di PT Pertamina Patra Niaga semakin menguatkan drama kelam bahwa rakyat selama ini dijejali kenyataan getir: bahan bakar oplosan! Mesin kendaraan meraung sekarat, mogok mendadak, menjadi jeritan sunyi dari kezaliman BBM aspal — mahakarya sang maestro oplos.
Namun, simfoni oplosan ini tak berhenti di sana. Bau anyir turut menjalar hingga ke BUMN lain. Lihat saja PT Asuransi Jiwasraya, benteng kokoh berusia lebih dari 160 tahun yang kini runtuh bak kastel pasir diterjang gelombang. Badai pengelolaan ala Erick Thohir memporak-porandakan harapan nasabah. Kebijakan restrukturisasi polis — ibarat petir menggelegar di langit cerah — mencabik hak nasabah, memotong nilai pertanggungan hingga 60 persen. Dunia asuransi pun terpaku, terperanjat: bagaimana bisa jurus sesat ini merangsek masuk dan meruntuhkan tembok kepercayaan publik?
Tak cukup menghantam dunia bisnis, Erick Thohir juga diduga mengoplos tatanan pers nasional. Jurnalisme yang semestinya kokoh bak mercusuar kebenaran kini bergemuruh jadi ajang pergulatan panas. Wartawan idealis dan berintegritas bersitegang dengan segelintir oknum korup yang diduga kebanjiran umpan fulus. Lahirlah ‘wartawan oplosan’ — tampil meyakinkan di depan, namun diam-diam tersandera kepentingan.
Suasana semakin membara. Saling tuding di antara jurnalis bak letusan kembang api. Sebagian memberi label sinis pada rekannya: “wartawan abal-abal, bodrex, WTS,” sementara yang lain membalas dengan cap “tidak kompeten, tidak bersertifikat.” Dunia pers bergejolak, kehilangan kemudi, dan meninggalkan publik dalam kebingungan: siapa penyampai kebenaran sejati, siapa yang sudah terpapar racun kepentingan?
Belum cukup di situ, sejak Erick Thohir duduk di singgasana Ketum PSSI, lapangan hijau juga tak luput dari wabah oplosan. Tim Nasional Indonesia bertransformasi menjadi “Tim Multinasional.” Pemain asing membanjir deras bak air bah, dioplos dengan bakat lokal tanpa proses panjang. Hasilnya? Kemenangan instan yang menciptakan sorak-sorai sesaat, hanya untuk roboh tak berdaya di hadapan tim papan bawah.
“Timnas kita ini seperti mi instan, lima menit siap saji! Padahal membangun tim kuat itu maraton panjang, bukan lari sprint dengan mengimpor pemain demi pencitraan kilat,” sergah Wilson Lalengke, wartawan senior yang lantang melawan korupsi.
Melihat badai “oplos-mengoplos” di berbagai lini ini, Wilson mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera memecat Erick Thohir sebelum gelombang kehancuran semakin meluas. “Jika ini dibiarkan, jangan-jangan nanti data KTP kita juga dioplos! Tempat lahir bukan lagi nama daerah, tapi tertulis ‘di atas kasur,'” cibir Wilson tajam.
“Publik tak bisa berbuat banyak selain duduk manis sambil ngemil popcorn: apakah Erick Thohir tetap berdiri kokoh di tengah badai, atau justru tersandung oleh ‘oplosan’ kebijakannya sendiri? Satu hal yang tak terbantahkan — suara rakyat menggelegar: kami mendamba keaslian, bukan racikan semu yang mengikis mutu dan meruntuhkan kepercayaan.”