Redaksi( September-25 )~Dalam kerangka pemikiran saya, agama dan politik sama-sama berakar dari kebutuhan manusia akan arah, makna, dan keteraturan. Agama hadir dengan nilai moral, etika, dan pedoman spiritual yang telah lama menjadi fondasi kehidupan. Namun, sebagaimana setiap sistem yang dijalankan oleh manusia, praktik beragama tidak selalu seindah ajarannya. Terkadang tafsir yang berlebihan, institusi yang terlalu kaku, atau individu yang mencari keuntungan pribadi membuat wajah agama tampak berbeda dari esensi sucinya. Agama tetap luhur, tapi kelemahan manusia sering kali menodainya.
Politik pun berangkat dari cita-cita mulia: kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan kemajuan bangsa. Namun di dunia nyata, politik justru sering tampil bak pentas sandiwara yang penuh badut, aktor murahan, dan pedagang mimpi. Janji-janji manis berhamburan setiap lima tahun, seolah negeri ini bisa berubah hanya dengan pidato. Tapi setelah kursi diduduki, semua mimpi itu sering ditinggalkan bersama bendera kampanye yang lusuh.
Baik agama maupun politik sama-sama membangun narasi besar untuk memobilisasi manusia. Dalam agama, ada yang terlalu fanatik hingga menutup ruang dialog; dalam politik, ada yang rela membela tokoh korup hanya karena merasa “seperjuangan.” Fanatisme di kedua ranah ini sering melahirkan ironi: rasionalitas dikorbankan demi loyalitas, akal sehat ditukar dengan pembenaran.
Di sinilah integritas intelektual diuji. Jika saya kritis terhadap tafsir keagamaan yang menjauh dari nilai moralnya, maka saya harus lebih keras lagi terhadap politik yang terang-terangan mempermainkan hidup orang banyak. Mengkritik agama tapi menerima dusta politik adalah bentuk kebodohan yang dibungkus kompromi.
Berpikir kritis harus berlaku pada keduanya. Agama perlu dirawat agar tetap menjadi sumber moralitas dan kemanusiaan, sementara politik harus diawasi agar tidak berubah menjadi mesin kebohongan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dengan begitu, kita bisa menghargai agama tanpa kehilangan nalar, dan menilai politik tanpa menjadi naif.
Pada akhirnya, baik agama maupun politik hanya layak diikuti ketika mereka berpihak pada akal sehat dan keadilan. Selain itu, keduanya hanyalah panggung yang membuat manusia lupa: bahwa kebenaran tidak lahir dari sorak massa, melainkan dari keberanian untuk berpikir sendiri.
Team Redaksi