Jakarta (20/08/25) — Hasil uji DNA yang dilakukan oleh Laboratorium Kedokteran Kesehatan (Labdokkes) Polri pada 7 Agustus 2025 membuka babak baru dalam kasus yang menyeret nama pria berinisial RK. Dari tes ilmiah tersebut, terbukti bahwa DNA Lisa Mariana—ibu dari anak berinisial CA—memiliki kecocokan 50% dengan CA. Namun, hasil serupa tidak berlaku bagi RK. Tes membuktikan bahwa DNA CA sama sekali tidak identik dengan RK, yang berarti CA bukanlah anak biologisnya.
Kasus ini bermula ketika Lisa Mariana lantang mengaku di berbagai platform media digital bahwa CA adalah anak hasil hubungannya dengan RK. Tak hanya di ruang maya, Lisa bahkan dengan percaya diri menggelar konferensi pers di sebuah hotel kawasan Kelapa Gading, Jakarta. Pernyataan itu sontak menyulut perhatian publik, namun sekaligus menjerumuskan dirinya sendiri. RK yang merasa nama baiknya dicemarkan, akhirnya membawa kasus ini ke ranah hukum dengan melapor ke Bareskrim Polri pada 11 April 2025.
Kasubdit I Dittipidsiber Bareskrim Polri, Kombes Pol Rizki Agung, menegaskan bahwa laporan RK didasari atas tuduhan pencemaran nama baik. “Hasil tes DNA ini menjadi fakta baru yang akan memperkuat proses hukum,” jelasnya. Hingga kini, kepolisian sudah memeriksa 12 orang saksi terkait kasus ini.
Karolabdokkes Polri, Brigjen Pol. dr. Sumy Hastry Purwanti, turut menegaskan bahwa hasil DNA bersifat mutlak. “Secara medis, hasil DNA ini sudah final dan dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan,” ujarnya.
Kasus ini pun menjadi sorotan publik, bukan hanya karena menyangkut isu moral dan keluarga, tetapi juga memperlihatkan bagaimana media digital kerap dijadikan panggung drama pribadi yang berujung ke meja hijau. Lisa Mariana kini berada di posisi sulit: dari sosok yang sempat percaya diri menuding, berubah menjadi pihak yang harus berhadapan dengan bukti ilmiah tak terbantahkan.
Dan di sinilah ironi itu muncul. Publik bertanya-tanya, untuk apa Lisa begitu getol mengumbar cerita di depan kamera, jika akhirnya fakta medis justru menelanjangi kebohongan yang ia bangun sendiri? Barangkali Lisa lupa bahwa opini publik bisa dibentuk dengan kata-kata manis, tapi kebenaran DNA tidak bisa dinegosiasikan. Kini, proses hukum menanti untuk menjawab: apakah Lisa hanya sekadar mencari sensasi, ataukah ada motif lain di balik kisah yang nyaris meruntuhkan nama baik seseorang.
Atas perbuatannya, Lisa terancam jerat pidana pencemaran nama baik, termasuk pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Undang-Undang ITE.
Team Reporter /IGM