Tangerang Selatan – Di balik deretan rumah dan bangunan baru di Pamulang, tersembunyi kisah getir seorang warga yang berjuang mempertahankan hak tanah dan martabat keluarganya. Namanya Hamjari Soebari. Selama 2,5 tahun, ia berusaha melawan apa yang diduga sebagai praktik mafia tanah—bermodal bukti forensik, laporan resmi, dan harapan akan keadilan.
Namun perjuangan Hamjari ternyata bukan hanya soal sertifikat tanah yang tiba-tiba berubah nama. Ia juga mengaku menjadi korban penipuan oleh anak dari terlapor utama kasusnya. Dua kasus, dua jalur laporan hukum—dua-duanya mandek.
“Saya sudah lelah, tapi belum akan berhenti. Ini bukan cuma soal tanah. Ini soal harga diri dan hukum,” ujar Hamjari kepada wartawan
Awalnya Soal Tanah, Tapi Menguak Skandal Lain
Kasus ini bermula dari sebidang tanah seluas 1.772 meter persegi milik istri Hamjari, Yanti Adefianti, di Benda Barat 8, Pamulang. Tanah itu rencananya dikembangkan bersama seorang pengusaha bernama Afung. Namun di tengah jalan, muncul nama (N) yang mengaku siap melanjutkan proyek tersebut.
Beberapa bulan kemudian, tanpa proses jual beli atau persetujuan resmi, muncul Sertifikat Hak Milik No. 15862 atas nama (N). Saat dicek ke BPN, sertifikat itu terbit berdasarkan akta jual beli yang diduga palsu.
Yang membuat semakin janggal, dokumen asli Akta Jual Beli masih dipegang oleh Afung—bukti bahwa tidak pernah ada penyerahan resmi dari pihak Yanti kepada siapa pun.
Dan yang paling krusial: hasil uji forensik Puslabfor Polri (Agustus 2024) menyatakan bahwa tanda tangan Yanti dalam dokumen itu adalah NON IDENTIK alias palsu.
Namun hingga April 2025, status (N) masih hanya sebagai saksi.
Laporkan Anak Terlapor, Juga Tanpa Progres.
Tak hanya itu. Hamjari juga mengaku telah ditipu oleh (AS) yang disebut sebagai anak kandung (N).
“Kalau benar dia anaknya, ya makin terang hubungan satu keluarga ini dalam kasus yang saya alami,” ujar Hamjari.
Berikut kronologi dugaan penipuan yang dilakukan (AS), berdasarkan pengakuan Hamjari:
-
28 Desember 2018, (AS) meminjam uang Rp 50 juta dengan alasan hutang pribadi.
-
Setelah itu, mobil Mercedes milik Hamjari dijual. Tapi uang hasil penjualan Rp 75 juta tidak dikembalikan.
-
Pada 4 November 2019, ada dua transaksi kepada (KA ), kakak (AS) sebesar Rp 15 juta dan 25 juta.
-
Pada 6 dan 7 November 2019, (AS) kembali meminta uang, masing-masing sebesar Rp 5 juta dan Rp 25 juta.
-
1 Oktober 2020, ada lagi transaksi Rp 40 juta untuk penitipan mobil Toyota Rush atas nama (F).
Total kerugian: Rp 235 juta.
Laporan resmi atas kasus ini sudah diajukan sejak 2021, namun hingga kini belum ada kabar.
“Saya buat LP soal (AS) sejak 2021. Sudah jalan 8 bulan, lalu hilang begitu saja. Tidak ada perkembangan,” kata Hamjari. “(AS) bahkan pernah sesumbar, katanya semua polisi Tangsel adalah temannya. Dan seolah terbukti—laporan saya seperti ‘masuk angin’.”
Minta Perhatian dari Polda
Merasa tak mendapatkan kejelasan, Hamjari mengirimkan surat terbuka yang juga ia tembuskan ke Kapolda Metro Jaya, Dirreskrimum, dan Kabag Wassidik.
Ia berharap ada tangan-tangan yang lebih bersih dan berani untuk mengungkap tuntas kasus yang bukan hanya soal mafia tanah, tapi juga dugaan penipuan keluarga yang saling berkait.
“Jangan sampai hukum dipermainkan oleh mereka yang punya koneksi. Kalau rakyat biasa seperti saya saja tidak didengar, bagaimana nasib yang lain?”.(R.EH,SH)📝 OPINI REDAKSI
Tanah Dirampas, Hukum Diam: 2,5 Tahun yang Memalukan
Sudah 2,5 tahun berlalu sejak Hamjari Soebari melaporkan dugaan pemalsuan dokumen atas tanah milik istrinya di Pamulang, Tangerang Selatan.
Sudah ada bukti hasil laboratorium forensik dari Puslabfor Polri yang menyatakan: tanda tangan istri korban adalah NON IDENTIK.
Namun ironisnya, hingga hari ini, tidak ada satu pun tersangka.Ini bukan hanya potret buruk penegakan hukum—ini alarm keras bahwa praktik mafia tanah bisa berjalan nyaman di tengah sistem yang semestinya memberi perlindungan.Di Mana Nyali Aparat Penegak Hukum?
Mengusut kasus pemalsuan dokumen dan penipuan atas nama hukum tidak membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun.
Jika aparat bekerja dengan objektif, adil, dan profesional—mestinya satu tahun cukup untuk menelusuri, menetapkan tersangka, dan membawa perkara ini ke meja hijau.Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya:
Laporan masuk sejak Mei 2022 Bukti forensik keluar sejak Agustus 2024 Tapi hingga April 2025, semuanya diamLebih dari itu, laporan tambahan yang menyebut dugaan penipuan oleh anak terlapor—dengan total kerugian Rp 235 juta—juga tenggelam tak tentu arah sejak 2021. Apakah semua ini kebetulan? Ataukah memang ada "tembok tak terlihat" yang sedang melindungi pelaku?Mafia Tanah: Bukan Lagi Isu, Tapi Krisis Nasional
Kasus Hamjari hanyalah satu dari banyak cerita serupa yang dialami warga Indonesia, dari desa sampai kota besar. Mafia tanah bekerja dalam senyap—melalui dokumen, akta jual beli palsu, atau koneksi ke dalam.
Yang menjadi korban? Selalu rakyat biasa.
Dan mereka yang semestinya menjaga keadilan? Terlalu sering berpura-pura buta. Kita tidak bisa menutup mata lagi. Pertanahan adalah hak dasar. Ketika tanah bisa diambil tanpa proses, maka wibawa hukum telah runtuh.
Apakah Indonesia ingin dikenang sebagai negara tempat sertifikat bisa berpindah tangan tanpa jual beli? Saatnya Kapolda dan Kapolri Turun Tangan Kasus ini telah dilaporkan ke berbagai tingkatan: dari Polres hingga Polda. Tapi yang dibutuhkan hari ini bukan sekadar surat balasan atau janji penyelidikan, melainkan aksi nyata. Kami mendorong:
Kapolda Metro Jaya untuk segera mengambil alih penyidikan Kabag Wassidik dan Dirreskrimum untuk melakukan audit internal atas penanganan laporan ini Kapolri untuk menjadikan kasus ini sebagai contoh nasional dalam memberantas mafia tanahJika tidak, maka publik hanya akan menyaksikan pengulangan sejarah:
Hukum hanya tajam ke bawah, dan tumpul ke atas. Karena keadilan bukan untuk mereka yang berkuasa saja,Tapi untuk siapa pun yang memperjuangkannya. 🖋️ Redaksi bulletin investigasi News