Jkt—-Indonesia memang jagonya melahirkan drama politik yang tak ada habisnya. Kini, panggung ramai dengan para ahli moral dadakan yang gemar berkhotbah soal keadilan, moral (syair lagu Bento) dan integritas, sementara tangan mereka tetap gemar meraih kursi kekuasaan dengan rakus. Semakin keras mereka teriak soal moral, semakin jelas betapa hausnya mereka akan kekuasaan.
Fenomena ini? Bukan barang baru. Dalam politik, mantan presiden yang masih punya pengaruh dianggap musuh utama yang harus didelegitimasi. Jokowi? Oh, dia bukan cuma mantan presiden, dia maestro di balik layar yang masih mengatur jalannya kekuasaan—meskipun sudah tidak duduk di kursi empuk. Dan pengaruh tanpa jabatan semacam ini, sungguh, jauh lebih mematikan bagi para penggila kekuasaan yang cuma punya nama tanpa isi.
Masuklah Gibran Rakabuming Raka, bukan sekadar anak presiden, tapi kini Wakil Presiden terpilih yang membuat banyak elit ngilu. Proses legal dan sah? Jangan harap itu diterima, begitu hasilnya tak sesuai selera. Langsung saja tudingan “rekayasa” dilempar tanpa malu.
Lalu muncul lagi drama klise: ijazah palsu, “matahari kembar,” usulan penggantian wapres—semua itu bukan soal integritas, melainkan upaya kotor membunuh karakter secara politik. Mereka tak bisa menang di arena terbuka, jadi pilihannya adalah menyerang dari balik bayang-bayang, dengan cara-cara yang kotor dan murahan.
Para “penjaga moral” ini dulunya bukan siapa-siapa tanpa Mahkamah Konstitusi yang mereka bela ketika menguntungkan kubunya. Sekarang, begitu hukum tak berpihak, mereka teriak-teriak seperti anak kecil yang gagal main. Standar ganda? Tidak, ini standar triplek bolak-balik, yang berubah sesuai mood politik dan kepentingan pribadi.
Gibran? Dia adalah lambang generasi baru yang menabrak kebiasaan lama. Bukan dinasti feodal, tapi hasil sistem yang sama yang dulu dipuja para elit itu. Tapi tentu saja, sebagian elit lebih memilih meratap dan memaki daripada menerima kenyataan bahwa mereka kalah saing.
Dan ketika tidak mampu bersaing secara jujur, mereka menggulirkan pertunjukan sandiwara di ruang publik—dengan isu, jargon moral, dan hipokrisi yang dipoles rapi. Publik? Sudah cerdas, tak gampang dibodohi. Mereka tahu siapa yang benar-benar memperjuangkan nilai, dan siapa yang cuma mencari sisa-sisa jatah kekuasaan yang tak didapat.
Jokowi memang bukan lagi presiden, tapi dia masih raja di balik layar—dan itu membuat para eks-ambisius itu meradang. Mereka ingin merombak peta kekuasaan tanpa harus diganggu oleh bayangan masa lalu yang lebih kuat dari mereka.
Para ahli politik pun tak ketinggalan menertawakan sandiwara ini. Dr. Arif Santoso menyebutnya “pertunjukan politik kelas kakap” yang penuh kemunafikan: “Ketika pintu demokrasi tertutup bagi mereka yang kalah, moralitas dipinjam sebagai tameng. Lucunya, para penjaga moral itu justru melakukan hal-hal paling tidak etis.”
Prof. Maya Wulandari menambahkan, “Ini bukan pertarungan ide, tapi perang dendam politik dibungkus jargon muluk. Label ‘rekayasa’ dilempar seenaknya saat hasil tak memuaskan mereka, sebagai pelarian dari kegagalan.”
Sementara Dr. Rendra Prasetya menyindir, “Kekuasaan yang solid memang memancing konflik, tapi bukan berarti harus menurunkan standar demokrasi dan menciptakan musuh bayangan demi menghalalkan segala cara.”
Drama politik Indonesia? Bukan soal ide, tapi soal mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun, termasuk menjilat ludah sendiri. Ketika kalah, ubah arena; ketika kalah, ciptakan musuh imajiner; ketika kalah, teriak soal konstitusi—padahal dulu mereka lah yang menginjak-injaknya.
Tapi tenang…, sejarah sudah jelas mencatat: mereka yang paling keras teriak soal konstitusi biasanya adalah pelaku pelanggaran paling brutal saat berkuasa.
-IGM-