“Gejolak Politik: Desakan Try Sutrisno pada Gibran yang Menghantarkan pada Pergeseran Letjen Kunto Arief Wibowo”

tentaraOked
Letjen Kunto Arief W & Sang Ayah Try Sutrisno
Letjen Kunto Arief W & Sang Ayah Try Sutrisno

Djakarta — Politik Indonesia kembali memanas, dan kali ini, suhu ketegangan seolah mencapai titik didih. Desakan keras dari Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno kepada Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, bukan hanya mengguncang lanskap politik nasional, tetapi juga menggoyahkan barisan dalam tubuh militer. Situasi semakin rumit ketika Letjen TNI Kunto Arief Wibowo—putra Try Sutrisno—mendadak dicopot dari jabatannya sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I, hanya empat bulan setelah dilantik. Pertanyaan pun bermunculan: ada apa sebenarnya di balik layar kekuasaan negeri ini?

Desakan yang Menggemparkan– Awal April 2025, suara nyaring menggema dari barisan purnawirawan TNI. Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden dan tokoh militer senior, menyuarakan desakan agar Gibran mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden terpilih. Alasannya: proses pencalonan yang dinilai sarat kontroversi dan berisiko menodai tatanan demokrasi yang telah diperjuangkan sejak lama.

Desakan ini bukan sekadar pernyataan politik biasa. Ia menjadi semacam alarm bagi publik—pertanda adanya keresahan yang lebih dalam di kalangan elite, termasuk dari mereka yang pernah duduk di puncak kekuasaan. Gibran pun menanggapi dengan kepala tegak. Ia tak terpancing, tetap tenang, dan menunjukkan bahwa dirinya siap berdiri di tengah badai, meski diterpa gelombang kritik dari segala arah.

Namun, di balik semua itu, muncul ketegangan laten: apakah ini hanya soal etika politik, atau ada rivalitas kekuasaan yang menyelinap diam-diam di balik desakan tersebut?

Pencopotan Kunto: Rotasi atau Manuver Politik?– Beberapa pekan setelah desakan Try Sutrisno mencuat, publik dikejutkan oleh kabar pencopotan Letjen Kunto Arief Wibowo. Baru saja menjabat sejak Januari, Kunto—yang saat itu digadang-gadang sebagai sosok pembaru di tubuh militer—mendadak dirotasi menjadi Staf Khusus KSAD. Tidak ada penjelasan detail. Tidak ada seremoni perpisahan. Hanya surat perintah dan kabar yang menyebar cepat.

Mabes TNI menyatakan bahwa mutasi ini adalah bagian dari rotasi rutin. Tapi banyak pihak bertanya: benarkah ini hanya soal birokrasi internal? Atau ada campur tangan kekuatan lain yang ingin memberi sinyal, bahwa kritik terhadap jalannya kekuasaan bisa saja berimbas ke lingkaran terdekat sang pengkritik?

Ketika Politik Menyusup ke Barak– Selamat Ginting, analis komunikasi militer dari Universitas Nasional, menilai bahwa pencopotan ini terlalu cepat dan terlalu sarat makna untuk dianggap sebagai “rotasi biasa”. Menurutnya, kejadian ini memperlihatkan betapa dinamika politik bisa mengusik stabilitas militer—sebuah institusi yang seharusnya netral dan steril dari kepentingan kekuasaan.

Sementara itu, Khairul Fahmi dari ISESS menyoroti kejanggalan waktu. Rotasi jabatan memang hal wajar dalam TNI, namun ketika terjadi hanya empat bulan setelah pengangkatan, dan menimpa figur potensial seperti Kunto, maka wajar jika publik curiga. “Ada sesuatu yang belum diceritakan,” ujarnya.

Simbol Politik, Bukan Sekadar Mutasi– Yang terjadi pada Letjen Kunto bukan cuma pergeseran jabatan. Ini adalah simbol dari bagaimana politik bisa merembes ke mana-mana—termasuk ke dalam barisan tentara. Ketika ayahnya secara terbuka mengkritik calon pemimpin tertinggi, dan tak lama kemudian sang anak kehilangan posisi strategisnya, publik tentu tidak bisa menutup mata begitu saja.  Ini adalah gambaran tentang betapa sensitifnya hubungan antara militer dan politik di negeri ini. Ketika dua kekuatan besar itu bersinggungan, hasilnya bisa jauh lebih besar daripada sekadar rotasi atau desakan.
Penutup— Babak Baru dalam Relasi Politik-Militer..?–Apa yang kita saksikan bukan sekadar perseteruan elite. Ini adalah fragmen dari pertarungan yang lebih besar—antara suara-suara lama yang ingin menjaga integritas sistem, dengan kekuatan baru yang sedang membangun jalannya sendiri menuju puncak kekuasaan.

Di tengah riuhnya sorotan publik, satu hal yang pasti: setiap langkah, setiap keputusan, tak pernah benar-benar bebas dari makna,  mungkin, di sanalah letak sebenarnya dari politik Indonesia hari ini—bukan sekadar soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi tentang siapa yang berani bersuara, dan apa konsekuensinya.

IGM


12373883853515033601
iklan-e
393933404023790490

Berita Internasional

Pengunjung