“Demo Nepal: Pantulan dari Indonesia, Bayangan untuk Masa Depan”

tentaraOked
Demo Nepal & Indonesia
Demo Nepal & Indonesia

Jkt(11-10-25)~~Apakah gelombang protes di Nepal merupakan efek domino dari Indonesia?
Pertanyaan itu patut diajukan. Sebab, gelombang politik yang mengguncang Nepal belakangan ini telah menjadi alarm keras~gaungnya melampaui batas Himalaya. Tumbangnya Perdana Menteri K.P. Sharma Oli bukan semata tragedi politik domestik, melainkan potret universal tentang apa yang terjadi ketika ketidakadilan, korupsi, dan frustrasi rakyat dibiarkan menumpuk tanpa solusi.

Di sana, Gen-Z tampil sebagai katalis perubahan. Mereka turun ke jalan melawan korupsi, ketidaksetaraan ekonomi, dan pemerintahan yang dianggap bebal. Namun alih-alih meredakan, pemerintah justru menutup akses media sosial—langkah yang hanya mempercepat kobaran api kemarahan. Akibatnya tragis: 19 orang tewas, rumah perdana menteri dibakar, parlemen dilalap api, dan rezim runtuh dalam kobaran protes.

Tetapi tragedi Nepal bukanlah akhir cerita. Ia justru menjadi awal dari rantai kejatuhan. Sejarah membuktikan, tumbangnya satu rezim sering kali memicu resonansi ke negara lain. Arab Spring 2010 adalah contoh paling gamblang. Bermula dari satu peristiwa kecil di Tunisia—seorang pedagang buah yang membakar diri karena frustrasi pada aparat korup—domino politik kemudian menjatuhkan rezim di Mesir, Libya, Suriah, hingga Yaman. Semua itu bukan karena intervensi asing, melainkan karena rakyat yang merasa dikhianati.

Indonesia pun menyimpan memori serupa. Tahun 1998, krisis moneter dan korupsi yang merajalela memaksa mahasiswa dan rakyat turun ke jalan. Hasilnya: Soeharto, yang berkuasa 32 tahun, tumbang hanya dalam hitungan hari. Peristiwa yang terjadi pada akhir Agustus 2025 lalu juga bisa dibaca sebagai bagian dari efek bergulir yang sampai ke Nepal—dan menjadi peringatan bahwa resonansi serupa suatu saat bisa kembali ke Indonesia. Sejarah selalu menunjukkan: ketidakadilan yang menumpuk dapat runtuh hanya oleh satu momentum, ketika rakyat merasa tak punya lagi pilihan selain melawan.

Tragedi Nepal seharusnya membuka ruang refleksi bagi para pemegang kekuasaan di Indonesia. Tanda-tandanya sudah jelas: hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah, pemberantasan korupsi yang makin lemah, pesta pora elit di atas penderitaan rakyat, hingga jurang ketidaksetaraan ekonomi yang semakin menganga. Semua itu adalah bahan bakar yang menunggu percikan api.

Rantai kejatuhan politik bekerja diam-diam. Nepal mungkin jauh secara geografis, tetapi keresahan rakyat tak mengenal batas negara. Apa yang terjadi di Kathmandu bisa dengan mudah meresonansi ke Manila, Bangkok, atau bahkan kembali ke Jakarta. Generasi muda dunia kini terhubung erat oleh media sosial—dan itu mempercepat resonansi politik lintas batas.

Nepal sudah terbakar. Indonesia belum. Namun polanya ada di sini. Jika elit terus menutup mata, jika korupsi terus dianggap normal, jika jurang ketidaksetaraan dibiarkan melebar, maka pertanyaan sejatinya hanyalah: kapan resonansi itu akan kembali?

Team Reporter /HP

Share

12373883853515033601
iklan-e
393933404023790490

Berita Internasional

Pengunjung